Sejarah

Kutipan ini kami ambil dari sebuah buku "Tutur Tular" yang dibuat oleh Tim Penyusun tentang Jemaat Penanian. Dikatakan Tutur Tular karena dalam pengumpulan data dan wawancara disana-sini yang berupa cerita singkat dari sebuah penuturan.
Selain itu ternyata Jemaat Penanian berdiri  sebagai persekutuan baru bagi orang Ba'lele - Kondongan yang bertumbuh seperti bibit tanpa olah tanah. Tidak mengherankan jika orang Ba'lele dan Kondongan terlambat bangkit berdiri sebagai jemaat yang dewasa. Pertumbuhan lambat karena proses pengaruh pembaruan itu tidak gampang. Injil yang begitu sulit diresapi tetapi ditabur terus, dikabarkan, dihidupi dan ditiru karena baru.

LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA

"Penanian" adalah nama sebuah lokasi berukuran 1 hektar yang menghubungkan kampung Ba'lele dengan Kampung Kondongan. Tempat tersebut sebagian dibentuk oleh leluhur masyarakat setempat menjadi petak-petak sawah dan dimanfaatkan sebagai pesemaian benih, sebagian kecil lainnya dijadikan "Rante" (lokasi pemotongan hewan pada acara Rambu Solo').
Masyarakat Ba'lele dan Kondongan sejak zaman leluhur mereka, memanfaatkan lokasi "Penanian" itu sebagai satu-satunya tempat pesemaian benih padi setiap musim turun sawah

PENANIAN MENYATUKAN

Ba'lele dan Kondongan awalnya masing-masing dipimpin oleh seorang kepala kampung. Sebelum 50-an, Ba'lele dipimpin oleh Salu Sampetoding kemudian diganti oleh puteranya Sampe Bamba Sampetoding. Sedangkan Kondongan dipimpin oleh Ne' Mangelle' kemudian digantikan oleh Londong Tandiseru. Tahun 50-an, Ba'lele dan Kondongan digabung menjadi satu, diberi nama Kampung Penanian dan yang menjadi Kepala Kampung saat itu adalah Ruru Sampetoding. Saat itu lokasi Penanian yang dianggap pertengahan kedua kampung, dipilih menjadi sebutan Kampung Penanian. Disebelah barat lokasi pesemaian dan rante, sekarang telah dibangun gedung Gereja Penanian.
Meskipun penyatuan kedua kampung itu hanya satu nama "Kampung Penanian", sebutan kawasan masing-masing hingga sekarang tetap lestari, BA'LELE - KONDONGAN. Keduanya merupakan kawasan permukiman dan kawasan pertanian. Sepertiga dari kawasan kedua kampung merupakan bukit batu yang tinggi dimana masyarakat leluhur membuat liang-liang lahat sebagai "aset tongkonan" hingga sekarang.

BELANDA MENGGUSUR, ZENDING MENABUR

Pemerintah kolonial Belanda datang merintis dan membuka jalan raya untuk menghubungkan Makassar dan Palopo melintasi Makale dan termasuk melintasi daratan persawahan Timur kawasan Ba'lele dan Pangrante.
Orang Belanda membangun kantor dan rumah mereka dipesisir Timur sungai Sa'dan dan membelah kawasan Ba'lele, itulah yang makin terbentuk makin ramai menjadi satu kota kecil dengan nama Kota Rantepao.
Tidak lama berselang datanglah orang-orang Belanda yang bekerja sebagai "Pekabar Injil" yang dikenal dengan nama Zending. 
Zending dari Gereja Belanda melakukan tugas dengan cara membuka sekolah di Tonga Kesu' dan beberapa kampung lainnya. Lahan persawahan dan kebun masyarakat Ba'lele digusur oleh penguasa kolonial tetapi rakyat dan anak-anak mudanya ditaburi benih-benih pengetahuan untuk dapat hidup baru. 
Di kota Rantepao Zending mendirikan Gereja, Rumah Sakit, dan Sekolah Rakyat. Ketiga sarana tersebut digunakan oleh zending untuk menabur benih kehidupan baru yang kekal dalam nama Tuhan Yesus. 
Kota Rantepao hingga sekarang begitu rupa berfungsi sebagai jantung perekonomian daerah Toraja. Jumlah orang percaya semakin bertambah tinggal di Rantepao dan daya tampung gedung Gereja dalam kota tidak menjamin. Akhirnya dibukalah tempat baru di Sekolah Cina yang disebut "Pasele Bawah", menyusul Malango', Pasele Atas, Penanian dan Karassik, tetapi menyatu sebagai Jemaat Rantepao.

JEMAAT RANTEPAO DALAM TUGAS PENGINJILAN

Direncana atau tidak, kehadiran Jemaat Rantepao telah begitu rupa berpengaru positif ke kampung-kampung yang jauh maupun dekat sehingga tumbuhlah jemaat-jemaat baru disana-sini. 
Disamping menata kehidupan berjemaat bagi warganya yang tinggal dalam kota Rantepao, misi pelayanan juga digiatkan kesekitarnya didukung oleh para guru Yayasan Pendidikan Kristen Toraja (YPKT) dan tokoh-tokoh masyarakat setempat. 
Jemaat Rantepao hingga dekade 80-an memelihara dirinya sebagai satu Jemaat Rantepao dan menata pelayanan pengelompokan warganya. Satu kelompok pelayanan bagi warga yang bermukim dipesisir Barat Sungai Sa'dan disebut sebagai kelompok Ba'lele. 
Tahun 1964 sudah tercatat kira-kira 20 rumah tangga yang menjadi warga Jemaat Rantepao. Mereka sering terlambat mengikuti kebaktian hari Minggu dan kebaktian lainnya di Gereja Rantepao karena jarak tempuh yang jauh dan harus menyeberangi sungai Sa'dan yang dalam dan sering meluap. 
Tempat tingga mereka hanya dihubungkan dengan satu jembatan gantung Singki' yang cukup panjang dan kondisinya tidak baik sehingga banyak diantara mereka yang takut melewati jembatan tersebut. Mereka lebih berani menyeberangi sungai dari pada berjalan melewati jembatan yang goyang, dengan pertimbangan anak-anak kecil mereka yang juga mau ikut ke kota pada hari Minggu, yang membuat urang tua banyak kali mengalah dan memilih tinggal dirumah saja. 
Selain itu sebagai warga yang hidup serba sederhana diluar kota, mereka sering enggan berbaur dengan orang-orang kota yang berpakaian bagus dan bersih dan lebih lagi karena pelayanan dalam kebaktian lebih mengutamakan berbahasa Indonesia sehingga mereka sukar memahaminya. 
Melihat hambatan tersebut, Pnt. Y.S. Palinggi mengusulkan kebutuhan mereka dalam rapat Majelis Gereja Rantepao pada tanggal 24 Maret 1964, agar Ba'lele dibangun satu tempat kebaktian supaya warga tidak terhalang mendengar Firman Tuhan dan mudah-mudahan masyarakat yang masih menganut Aluk Todolo tertarik untuk menerima Injil untuk hidup baru. 
Rapat setuju untuk membangun tempat kebaktian dikelompok Ba'lele dengan catatan menyelesaikan dulu tempat kebaktian Pasele Atas. Untuk maksud tersebut Rapat Majelis Jemaat Rantepao mengangkat B. Paseru dan Y. Assa' menjadi Penatua di Ba'lele dengan tugas bekerjasama mencari lokasi dan menggalang bantuan berupa bahan bangunan.
Seiring berjalannya waktu dalam upaya untuk mencari lokasi yang tepat diantara dua lokasi yang diperhitungkan yaitu lokasi Rante di Kanan dan lokasi kepunyaan Bato' Kaluku yang biasa dipanggil Ne' Sakkararo' ditepi bagian Barat pesemaian masyarakat Penanian. Dalam pertemuan warga jemaat lebih condong memilih tanah milik Ne' Bato' Kaluku namun pemilik tanah tersebut telah meninggal dunia. Bapak S.B. Sampetoding bersedia menghubungi Letnan Dengen anggota Yonif 700 RID yang bermarkas di Dayak Makassar sebagai pewaris tanah tersebut. Akhirnya pewaris tanah tersebut setuju untuk menghibahkannya sebagai tempat penyembahan Tuhan. Dengan gembira dan semangat warga jemaat segera mengangkut kayu bangunan dari Burasia dan seterusnya didirikanlah bangunan Gereja hingga selesai dan dapat digunakan.

Untuk pertama kalinya digunakan beribadah, dilaksanakan pembukaan pintu bangunan yang dipimpin oleh Pdt. Y. Lebang sambil menyanyikan Pa'pudian (MZ) 84 : 1 "Tangpada ya mala'bi'na banua kabusunganMi O Puang",.. . dst,  sementara warga jemaat masuk ruangan mengiringi Pendeta.
Hal itu merupakan sebuah kemungkinan baru bagi warga jemaat di Ba'lele untuk saling mempengaruhi dengan pola hidup keteladanan dan kekerabatan dalam masyarakat. Tidak lama sesudah gedung darurat ini selesai, sekitar bulan September 1967 dilakukan pembabtisan kepada beberapa orang dewasa. Dua orang tukang yang mengerjakan gedung ini yaitu Ne' Rombe dan Ne' Tangke Pare, berjanji dibaptiskan bila pekerjaan mereka selesai. Itulah kesempatan pertama gedung ini digunakan melayani sakramen pembabtisa.
Demikianlah bagaikan penabur mulai menuai, jumlah orang percaya makin bertambah tanggal 3 Maret 1978 nama Kelompok Ba'lele dalam lingkup Jemaat Rantepao diperbaharui menjadi Kelompok Pelayanan Penanian.

KELOMPOK PELAYANAN PENANIAN BERTAMBAH MANDIRI

Pada tanggal 27 April 1987 Rapat Majelis Gereja Jemaat Rantepao setuju meningkatkan status Tempat Kebaktian Penanian menjadi Cabang Kebaktian Penanian sesuai Tata Gereja  Toraja, supaya sebagai cabang kebaktian dapat mendayagunakan potensi majelis gereja yakni Penatua dan Syamas yang dipandang mampu mengelolah dana dan administrasinya.
Kebijakan Majelis Gereja Rantepao bersama Badan Pekerja Klasis Rantepao selama kepelayanan Pdt. Yan Piter Polandos yang mendorong pertumbuhan jemaat dan klasis Rantepao ialah :
  1. Pemekaran jemaat yang direalisasi pada tanggal 01 April 1984 untuk Jemaat Malango', Jemaat Buntu Pasele dan Jemaat Karassik.
  2. Mendorong majelis gereja yang sudah mekar dan mandiri untuk dapat memanggil pendeta.
  3. Membina peningkatan serta tertib administrasi pengelolaan, pelayanan dan keuangan.
Dalam keputusan Sidang Klasis Rantepao di Mariri, memberi kepercayaan kepada Majelis Gereja Jemaat Penanian untuk menjadi tuan rumah Persidangan Klasis Rantepao tanggal 10 s/d 12 Februari 1991. Panitia Persidangan dibantu dan diarahkan oleh Pdt. S. Tolangi yang pada saat itu bertempat tinggal di Kondongan karena cuti untuk studi lanjut.
Kemudian secara berturut-turut Jemaat Buntu Pasele memanggil Pdt. N. Bakurru, Jemaat Malango' memanggil Pdt. Y.S. Makay, Jemaat Elim memanggil Pdt. J.L. Tangalobo'
Pdt. Yan Piter Polandos melayani di Jemaat Rantepao termasuk Cabang Kebaktian Penanian dan juga sebagai tenaga Konsulen Jemaat Karassik.
Dari Sidang Klasis Rantepao di Tilengko memberi tugas kepada Jemaat Rantepao untuk membenahi Cabang Kebaktian Penanian untuk bisa mandiri dan akhirnya pada Sidang Klasis di Mariri tahun 1988 menerima laporan tim visitasi klasis tentang kelayakan Cabang Kebaktian Penanian dinyatakan menjadi Jemaat dewasa yang mandiri.
Jumlah kepala keluarga pada saat itu sekitar 84 KK dan pada tanggal 16 April 1989 Rapat Majelis Jemaat Rantepao membentuk BPM Jemaat Penanian.

JEMAAT PENANIAN

Surat keputusan tentang pendewasaan Cabang Kebaktian Penanian menjadi Jemaat Penanian dibacakan dan diserahkan oleh Ketua BPK Rantepao, Pdt. Y. Ponipadang, S.Th. dalam kebaktian pelepasan pada tanggal 27 Juni 1989.
Setelah didewasakan, Jemaat Penanian terus belajar mandiri, berbenah diri dan makin terbangun seiring perkembangan kemasyarakatan dan keimanan menapaki tantangan sampai pada saat ini. 
Pada tahun 1996 sudah menerima seorang proponen yang kemudian diurapi menjadi pendeta pertama di Jemaat Penanian pada tahun 1997. 
Pada tanggal 30 Oktober 1997 Pdt. Masak Etung Abang, S.Th diurapi sebagai Pendeta pertama setelah Jemaat Penanian delapan (8) tahun lamanya dewasa.
Pengurapan Pdt. Masak Etung Abang, S.Th dirangkaikan dengan Pentabisan Gereja Jemaat Penanian dipimpin oleh Pdt. I.P. Lambe', M.Th. Pelaksanaannya berjalan dengan baik karena Panitia dan Majelis Gereja mendapat arahan yang baik dari Pdt. Robertus Pakan, S.Th. yang saat itu menjabat sebagai Ketua Klasis Rantepao dan Wakil Sekretaris BPSW II Rantepao, beliau juga melayani jemaat-jemaat se-Klasis Rantepao khusus Pemuda.
Pada saat itu ada 3 kelompok pelayanan di jemaat yaitu :
  • Kelompok Pelayanan 1 ; sekitar lingkungan Ba'lele
  • Kelompok Pelayanan 2 ; sekitar lingkungan Kondongan
  • Kelompok Pelayanan 3 ; sekitar lingkungan Serang
Bersama dengan itu hadir Keluarga Sambo yang diwakili oleh Bapak Drs. Daud Sambo sekaligus menghibahkan tanah mereka untuk tempat Rumah Pastori yang sekarang sudah dimanfaatkan. 
Ketika selesai masa bakti sebagai pendeta pertama di Jemaat Penanian, Pdt. Masak Etung Abang, S.Th. terpilih menjadi Sekretaris Umum Pengurus Pusat PWGT, majelis gereja jemaat Penanian memanggil Pdt. M.L. Patadingallo, S.Th mengisi formasi Ketua Majelis Gereja Jemaat Penanian. Dalam pelayanan beliau jemaat berjalan terus dan semakin berkembang terlebih pada jumlah anggota jemaat sehingga harus melaksanakan ibadah dua kali pada Hari Minggu untuk beberapa bulan lamanya. Tanpa terasa Jemaat penanian membuka tempat kebaktian di Ba'lele, seiring dengan pemekaran Klasis Rantepao ke Klasis Rantepao Barat, tempat kebaktian Ba'lele dipacu untuk dewasa dan dimekarkan dari Jemaat Penanian pada tanggal 10 Juli 2010.
Setelah selesai masa bakti, Pdt. M.L. Patadingallo, S.Th dipanggil oleh Jemaat Tanjung Santan di Kalimantan. Menyusul Pdt. Agustinus Paliba, S.Th dan beliau harus melayani didua tempat yakni Jemaat Penanian dan Cabang Kebaktian Ba'lele yang beberapa saat kemudian menjadi Jemaat Ba'lele. Sesudah beliau dimutasi ke Jemaat Campagaya Makassar, Jemaat Penanian memanggil Pdt. Lena Daniel, S.Th dari Jemaat Bulukumba.
Sebelum proses pemanggilan Pdt. Lena Daniel, S.Th tuntas, sudah lancar komunikasi ke Jemaat Penanian namun setelah harapan kedua belah pihak menjadi kenyataan, yang mana tak terduga sebelumnya pendeta mengambil keputusan untuk cuti selama 3 tahun. Beliau diuraikan pada tanggal 25 Desember 2012 setelah melayani dalam Jemaat selama tiga bulan.
Pada tanggal 4 Agustus 2013 Pdt. Yonatan Mangallo, S.Th diteguhkan di Jemaat Penanian sampai sekarang saat rencana pembangunan (pengembangan) gedung Gereja dicanangkan untuk dilaksanakan.














3 komentar:

  1. Sejarah ini diambil dari buku "Tutur Tular" yang dibuat oleh Majelis Jemaat Penanian dan ditampilkan secara umum saja dan beberapa bagian yang terpotong, semoga bermanfaat.

    Admin

    BalasHapus
  2. Kak ? Bisa tidak foto - foto yang ada di Buku Tutur Tular itu di upload ?
    Soalnya saya ada tugas tentang itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. sori lama br aktif lagi... soal foto2 d tutu tular, nnt sy lhat dl...kalo mmg memungkinkan dupload, tp setahu sy tdk ada fdokumentasi yg bgs dtutur tular...

      Hapus