MENGAPA ISHAK YANG HARUS DIPERSEMBAHKAN?

MENGAPA ISHAK  YANG HARUS DIPERSEMBAHKAN?
(Kejadian 22 : 1 – 14)
Catatan Pengantar Khotbah 29 Juni 2014

Satu
pertanyaan penting yg muncul dari bacaan Kejadian 22:1-14 ini, ialah mengapa TUHAN harus meminta agar Ishak harus dipersembahkan sebagai korban bakaran?
Apa y
ang sesungguhnya Tuhan mau kita ketahui tentang diri-NYA, ketika justru yang paling penting dan berhargalah yang Tuhan minta dari umat-Nya? Atau apa yang Tuhan ingin lihat dan temukan dalam diri Abraham, ketika  Ia meminta agar Ishak, dan bukannya domba atau lembu yang harus dipersembahkan sebagai korban bakaran?

Sekiranya Tuhan meminta lembu, kambing atau domba, tentu semua lebih wajar dipahami. Tapi meminta Ishak sebagai persembahan? Ini jelas sulit dimengerti! Bagi Abraham dan Sarah, sesungguhnya jelas: Ishak bukan sekedar seorang anak. Lebih dari itu, Ishak adalah wujud pemenuhan janji Tuhan. Setelah sekian puluh tahun  hidup dalam penantian yang berkepanjangan, barulah pada umur seratus tahun Ishak diberikan Tuhan. Karena itu, ketika anak yang sudah dinantikan hingga puluhan tahun ini kemudian Tuhan minta seketika untuk diberikan kembali sebagai persembahan, maka tidakkah ini membingungkan dan merisaukan? Apa yang sesungguhnya Tuhan inginkan? Belum lagi kalau mengingat janji Tuhan bagi Abraham: “Aku akan membuat engkau beranak cucu sangat banyak” (Kej.17:6). Ketika Ishak diminta untuk dipersembahkan, lalu bagaimana lagi janji Tuhan ini akan diwujudkan? Janji Tuhan untuk memiliki anak-cucu jelas menjadi terancam dan mustahil lagi terpenuhi.

Karena itu, hal penting yang harus dipahami, ialah mengapa Tuhan meminta Abraham untuk mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran? Menarik memperhatikan perkataan Tuhan kepada Abraham ketika ia sedang bersiap-siap untuk mempersembahkan Ishak: Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Abraham, Abraham." Sahutnya: "Ya, Tuhan." Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." (ayat 11-12). Maknanya jelas, Tuhan ingin menemukan sikap takut akan Allah dalam diri Abraham. Dan terkait dengan upaya memberikan persembahan, menarik untuk memperhatikan makna kata “takut” (dari kata Ibrani: yare, yang juga bisa berarti hormat), yang ternyata terkait erat dengan kata Ibrani: yireh, yang berarti menyediakan (Bnd. Kej. 22:14: Tuhan menyediakan dalam TB LAI atau Jehovah Jireh). Dalam hal ini, sikap takut akan Allah sesungguhnya merupakan rasa hormat kepada Tuhan yang lahir dari sebuah kesadaran, betapa semua yang Abraham miliki, termasuk Ishak, sesungguhnya merupakan anugerah pemberian Tuhan sepenuhnya.

Beroleh seorang anak saat umur Abraham sudah mencapai 100 tahun, jelas melampaui logika pemikiran manusia. Wajar kalau Sarah kemudian tertawa saat mendengar janji Tuhan. Bisa dipahami, jika dalam keputus-asaannya Sarah kemudian meminta Abraham agar menghampiri Hagar, hambanya, guna beroleh keturunan.

Sehubungan dengan itu, kemudian tentu pula bisa dimengerti, mengapa Abraham harus menunggu penggenapan janji Tuhan sampai umur seratus tahun. Seperti pertanyaan seorang kawan: mengapa Ishak harus diberikan justru ketika organ-organ reproduksi Abraham dan Sarah mungkin tidak cukup baik lagi untuk menjaminkan kehadiran seorang anak? Jawabnya jelas: agar setiap orang sepenuhnya sadar, betapa Ishak itu sepenuhnya anugerah Tuhan, pemberian Tuhan, disediakan oleh Tuhan. Sekiranya sang anak diberikan ketika Abraham masih muda, rasanya mungkin biasa saja, tidak begitu terlihat kebesaran dan kuasa Tuhan di sana. Tapi ketika Ishak dianugerahkan saat kondisi fisik Abraham dan Sarah terasa tak mungkin lagi beroleh seorang anak, maka di sana terasa kuasa Tuhan yang luar biasa, kuasa yang membuat Abraham dan umat Tuhan sadar, bahwa semuanya toh adalah pemberian Tuhan.

Pertanyaan penting sehubungan d
engan Pekan Persembahan tentunya, ialah dalam setiap persembahan yang kita berikan, adakah di sana terlihat dengan sungguh sikap takut akan Allah? Adakah hati yang penuh hormat kepada Tuhan, karena tahu bahwa semua yang saya berikan sesungguhnya adalah pemberian Tuhan juga? Mazmur 50:14 katakan: persembahkan syukur sebagai korban! Perhatikan dengan baik, bukan korban sebagai syukur, tetapi syukur sebagai korban. Artinya jelas, sikap hormat, syukur dan takut akan Allah menjadi teramat penting, sebab semua yang kita miliki adalah pemberian dan kepunyaan Tuhan. Bagaimana harus menilai? Tentu terpulang pada setiap pribadi. Namun, tentu menarik untuk membandingkan cara dan sikap kita memberikan sesuatu kepada orang lain, baik sahabat atau keluarga, dengan cara dan sikap kita dalam memberi persembahan kepada Tuhan. Kira-kira mana yang lebih memperlihatkan rasa hormat, syukur dan takut akan Allah?

Jika mengingat kisah Nadab dan Abihu, dua orang putra Imam Besar Harun yang harus mati karena hal persembahan, maka sikap dalam memberikan persembahan, tentu menjadi amat penting. Dalam Imamat 10:1b dikatakan, “Dengan demikian mereka mempersembahkan ke hadapan Tuhan api yang asing yang tidak diperintahkan-Nya kepada mereka”. Jika merujuk pada teks aslinya, maka sesungguhnya menarik untuk memperhatikan penggunaan dua kata yang kontras, yakni kata mempersembahkan (Ibrani: qarab) dalam kaitannya dengan api yang asing. Dalam memberikan persembahan (qarab), harusnya terlihat sebuah hubungan yang karib atau dekat dan mengenal Tuhan baik. Namun pada kenyataannya, persembahan Nadab dan Abihu justru merupakan hal yang asing dan tidak memperlihatkan pengenalan dan kedekatan mereka dengan Tuhan.

Memberi persembahan dengan rasa hormat dan syukur!
Itulah yang dialami oleh Abraham! Ia tahu betul, Ishak adalah anugerah Tuhan. Karena itulah, meskipun tentu penuh dengan pergumulan, ia tetap mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan Tuhan. Dan bagi Tuhan sendiri, sikap Abraham jelas: “Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." Kata tidak segan-segan (Ibrani: chasak berarti tidak menyembunyikan atau tidak menahan), jelas memperlihatkan sikap Abraham. Sikap Abraham jelas berbeda dengan sikap Ananias dan Safira, suami istri yang kompak untuk menahan sebagian hasil penjualan tanah mereka (Kisah 5:2). Sikap Abraham juga berbeda dengan sikap orang muda yang kaya, yang karena mengingat hartanya yang banyak, kemudian batal untuk mengikut Yesus (Matius 19:22). Sebaliknya, Abraham mampu melihat dan kemudian menempatkan sepenuhnya, beragam bentuk pemberian Tuhan, pada tempat yang semestinya. Jabatan, kekayaan, kepintaran, atau apa pun, hendaknya tidak merintangi kesetiaan Abraham pada Tuhan. Apalagi jika hal tersebut sampai menggantikan posisi Tuhan dalam kehidupannya.
Sehubungan dengan itu pula, pertanyaan lebih jauh tentunya ialah, seberapa jauh setiap orang menyadari dengan sungguh, bahwa Tuhanlah yang menyediakan? Abraham sendiri, ketika Ishak bertanya padanya: "Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?", Abraham pun menjawab: "Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku."

Tuhan y
ang menyediakan! Kita tentu ingat kisah Elia dan Janda di Sarfat (1 Raja 17).
Ketika musim kering
dan kelaparan tiba, Elia disuruh Tuhan untuk pergi mencari makanan ke seorang janda di Sarfat. Elia tidak diminta untuk pergi ke seorang pejabat kaya raya, tetapi kepada seorang janda yang tak punya apa-apa sama sekali. Namun demikian, Elia tetap saja pergi. Mengapa? Karena ia yakin, yang menyediakan bukanlah sang janda tersebut, tapi Tuhan yg menyediakan! Yang menentukan ketersediaan tepung dan minyak bukanlah jabatan dan bukan pula suami (masih ada atau tidak, hebat atau tidak, sudah pensiun atau belum)! Bukankah berkat yg paling indah bagi Abraham justru diberikan ketika ia berumur 100 Tahun?
Sang ibu janda pun tak kalah takjub. Ia sendiri sadar, bahwa tempayan dan buli-buli yang ia miliki hanya tinggal menyisakan sedikit tepung dan minyak. Lalu mengapa tepung dalam tempayan dan minyak dalam buli-bulinya kemudian menjadi tidak pernah habis selama musim kekeringan melanda? Jawabnya jelas, yakni sebab tepung dan minyak pun bersumber dr Tuhan. Ketersediaan tepung dan minyak yang terus menerus, ternyata tidak bergantung pada berapa banyak persediaan atau tabungan yang kita simpan, tetapi semata pada kehadiran Tuhan yang menyediakan.


Kelapa Gading, Juni 2014

1 komentar:

  1. Sebelumnya kami ucakan banyak terima kasih atas kesediaan Bpk Pdt. Alfred Anggui sudah meluangkan waktux membagikan bahan renungan ini untuk kami posting diblog ini.
    Semoga ini dapat memberi inspirasi kedepan, baik kami sbagai admin pengelola ataupun para pembaca renungan/artikel ini.
    Tuhan memberkati !

    BalasHapus