MENGAPA
ISHAK YANG HARUS DIPERSEMBAHKAN?
Satu pertanyaan penting yg muncul dari bacaan Kejadian 22:1-14 ini, ialah mengapa TUHAN harus meminta agar Ishak harus dipersembahkan sebagai korban bakaran?
Apa yang sesungguhnya Tuhan mau kita ketahui tentang diri-NYA, ketika justru yang paling penting dan berhargalah yang Tuhan minta dari umat-Nya? Atau apa yang Tuhan ingin lihat dan temukan dalam diri Abraham, ketika Ia meminta agar Ishak, dan bukannya domba atau lembu yang harus dipersembahkan sebagai korban bakaran?
Sekiranya Tuhan meminta lembu, kambing atau domba, tentu semua lebih wajar dipahami. Tapi meminta Ishak sebagai persembahan? Ini jelas sulit dimengerti! Bagi Abraham dan Sarah, sesungguhnya jelas: Ishak bukan sekedar seorang anak. Lebih dari itu, Ishak adalah wujud pemenuhan janji Tuhan. Setelah sekian puluh tahun hidup dalam penantian yang berkepanjangan, barulah pada umur seratus tahun Ishak diberikan Tuhan. Karena itu, ketika anak yang sudah dinantikan hingga puluhan tahun ini kemudian Tuhan minta seketika untuk diberikan kembali sebagai persembahan, maka tidakkah ini membingungkan dan merisaukan? Apa yang sesungguhnya Tuhan inginkan? Belum lagi kalau mengingat janji Tuhan bagi Abraham: “Aku akan membuat engkau beranak cucu sangat banyak” (Kej.17:6). Ketika Ishak diminta untuk dipersembahkan, lalu bagaimana lagi janji Tuhan ini akan diwujudkan? Janji Tuhan untuk memiliki anak-cucu jelas menjadi terancam dan mustahil lagi terpenuhi.
Karena itu, hal penting yang harus dipahami, ialah mengapa Tuhan meminta Abraham untuk mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran? Menarik memperhatikan perkataan Tuhan kepada Abraham ketika ia sedang bersiap-siap untuk mempersembahkan Ishak: Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Abraham, Abraham." Sahutnya: "Ya, Tuhan." Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." (ayat 11-12). Maknanya jelas, Tuhan ingin menemukan sikap takut akan Allah dalam diri Abraham. Dan terkait dengan upaya memberikan persembahan, menarik untuk memperhatikan makna kata “takut” (dari kata Ibrani: yare, yang juga bisa berarti hormat), yang ternyata terkait erat dengan kata Ibrani: yireh, yang berarti menyediakan (Bnd. Kej. 22:14: Tuhan menyediakan dalam TB LAI atau Jehovah Jireh). Dalam hal ini, sikap takut akan Allah sesungguhnya merupakan rasa hormat kepada Tuhan yang lahir dari sebuah kesadaran, betapa semua yang Abraham miliki, termasuk Ishak, sesungguhnya merupakan anugerah pemberian Tuhan sepenuhnya.
Sehubungan dengan itu, kemudian tentu pula bisa dimengerti, mengapa Abraham harus menunggu penggenapan janji Tuhan sampai umur seratus tahun. Seperti pertanyaan seorang kawan: mengapa Ishak harus diberikan justru ketika organ-organ reproduksi Abraham dan Sarah mungkin tidak cukup baik lagi untuk menjaminkan kehadiran seorang anak? Jawabnya jelas: agar setiap orang sepenuhnya sadar, betapa Ishak itu sepenuhnya anugerah Tuhan, pemberian Tuhan, disediakan oleh Tuhan. Sekiranya sang anak diberikan ketika Abraham masih muda, rasanya mungkin biasa saja, tidak begitu terlihat kebesaran dan kuasa Tuhan di sana. Tapi ketika Ishak dianugerahkan saat kondisi fisik Abraham dan Sarah terasa tak mungkin lagi beroleh seorang anak, maka di sana terasa kuasa Tuhan yang luar biasa, kuasa yang membuat Abraham dan umat Tuhan sadar, bahwa semuanya toh adalah pemberian Tuhan.
Pertanyaan penting sehubungan dengan Pekan Persembahan tentunya, ialah dalam setiap persembahan yang kita berikan, adakah di sana terlihat dengan sungguh sikap takut akan Allah? Adakah hati yang penuh hormat kepada Tuhan, karena tahu bahwa semua yang saya berikan sesungguhnya adalah pemberian Tuhan juga? Mazmur 50:14 katakan: persembahkan syukur sebagai korban! Perhatikan dengan baik, bukan korban sebagai syukur, tetapi syukur sebagai korban. Artinya jelas, sikap hormat, syukur dan takut akan Allah menjadi teramat penting, sebab semua yang kita miliki adalah pemberian dan kepunyaan Tuhan. Bagaimana harus menilai? Tentu terpulang pada setiap pribadi. Namun, tentu menarik untuk membandingkan cara dan sikap kita memberikan sesuatu kepada orang lain, baik sahabat atau keluarga, dengan cara dan sikap kita dalam memberi persembahan kepada Tuhan. Kira-kira mana yang lebih memperlihatkan rasa hormat, syukur dan takut akan Allah?
Memberi persembahan dengan rasa hormat dan syukur!
Tuhan yang menyediakan! Kita tentu ingat kisah Elia dan Janda di Sarfat (1 Raja 17).
Ketika musim kering dan kelaparan tiba, Elia disuruh Tuhan untuk pergi mencari makanan ke seorang janda di Sarfat. Elia tidak diminta untuk pergi ke seorang pejabat kaya raya, tetapi kepada seorang janda yang tak punya apa-apa sama sekali. Namun demikian, Elia tetap saja pergi. Mengapa? Karena ia yakin, yang menyediakan bukanlah sang janda tersebut, tapi Tuhan yg menyediakan! Yang menentukan ketersediaan tepung dan minyak bukanlah jabatan dan bukan pula suami (masih ada atau tidak, hebat atau tidak, sudah pensiun atau belum)! Bukankah berkat yg paling indah bagi Abraham justru diberikan ketika ia berumur 100 Tahun?
(Kejadian 22 : 1 – 14)
Catatan Pengantar Khotbah
29 Juni 2014
Satu pertanyaan penting yg muncul dari bacaan Kejadian 22:1-14 ini, ialah mengapa TUHAN harus meminta agar Ishak harus dipersembahkan sebagai korban bakaran?
Apa yang sesungguhnya Tuhan mau kita ketahui tentang diri-NYA, ketika justru yang paling penting dan berhargalah yang Tuhan minta dari umat-Nya? Atau apa yang Tuhan ingin lihat dan temukan dalam diri Abraham, ketika Ia meminta agar Ishak, dan bukannya domba atau lembu yang harus dipersembahkan sebagai korban bakaran?
Sekiranya Tuhan meminta lembu, kambing atau domba, tentu semua lebih wajar dipahami. Tapi meminta Ishak sebagai persembahan? Ini jelas sulit dimengerti! Bagi Abraham dan Sarah, sesungguhnya jelas: Ishak bukan sekedar seorang anak. Lebih dari itu, Ishak adalah wujud pemenuhan janji Tuhan. Setelah sekian puluh tahun hidup dalam penantian yang berkepanjangan, barulah pada umur seratus tahun Ishak diberikan Tuhan. Karena itu, ketika anak yang sudah dinantikan hingga puluhan tahun ini kemudian Tuhan minta seketika untuk diberikan kembali sebagai persembahan, maka tidakkah ini membingungkan dan merisaukan? Apa yang sesungguhnya Tuhan inginkan? Belum lagi kalau mengingat janji Tuhan bagi Abraham: “Aku akan membuat engkau beranak cucu sangat banyak” (Kej.17:6). Ketika Ishak diminta untuk dipersembahkan, lalu bagaimana lagi janji Tuhan ini akan diwujudkan? Janji Tuhan untuk memiliki anak-cucu jelas menjadi terancam dan mustahil lagi terpenuhi.
Karena itu, hal penting yang harus dipahami, ialah mengapa Tuhan meminta Abraham untuk mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran? Menarik memperhatikan perkataan Tuhan kepada Abraham ketika ia sedang bersiap-siap untuk mempersembahkan Ishak: Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Abraham, Abraham." Sahutnya: "Ya, Tuhan." Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." (ayat 11-12). Maknanya jelas, Tuhan ingin menemukan sikap takut akan Allah dalam diri Abraham. Dan terkait dengan upaya memberikan persembahan, menarik untuk memperhatikan makna kata “takut” (dari kata Ibrani: yare, yang juga bisa berarti hormat), yang ternyata terkait erat dengan kata Ibrani: yireh, yang berarti menyediakan (Bnd. Kej. 22:14: Tuhan menyediakan dalam TB LAI atau Jehovah Jireh). Dalam hal ini, sikap takut akan Allah sesungguhnya merupakan rasa hormat kepada Tuhan yang lahir dari sebuah kesadaran, betapa semua yang Abraham miliki, termasuk Ishak, sesungguhnya merupakan anugerah pemberian Tuhan sepenuhnya.
Beroleh
seorang anak saat umur Abraham
sudah mencapai 100 tahun, jelas melampaui logika pemikiran manusia. Wajar kalau Sarah kemudian tertawa saat mendengar janji Tuhan. Bisa dipahami, jika dalam keputus-asaannya
Sarah kemudian
meminta Abraham agar menghampiri Hagar,
hambanya, guna beroleh keturunan.
Sehubungan dengan itu, kemudian tentu pula bisa dimengerti, mengapa Abraham harus menunggu penggenapan janji Tuhan sampai umur seratus tahun. Seperti pertanyaan seorang kawan: mengapa Ishak harus diberikan justru ketika organ-organ reproduksi Abraham dan Sarah mungkin tidak cukup baik lagi untuk menjaminkan kehadiran seorang anak? Jawabnya jelas: agar setiap orang sepenuhnya sadar, betapa Ishak itu sepenuhnya anugerah Tuhan, pemberian Tuhan, disediakan oleh Tuhan. Sekiranya sang anak diberikan ketika Abraham masih muda, rasanya mungkin biasa saja, tidak begitu terlihat kebesaran dan kuasa Tuhan di sana. Tapi ketika Ishak dianugerahkan saat kondisi fisik Abraham dan Sarah terasa tak mungkin lagi beroleh seorang anak, maka di sana terasa kuasa Tuhan yang luar biasa, kuasa yang membuat Abraham dan umat Tuhan sadar, bahwa semuanya toh adalah pemberian Tuhan.
Pertanyaan penting sehubungan dengan Pekan Persembahan tentunya, ialah dalam setiap persembahan yang kita berikan, adakah di sana terlihat dengan sungguh sikap takut akan Allah? Adakah hati yang penuh hormat kepada Tuhan, karena tahu bahwa semua yang saya berikan sesungguhnya adalah pemberian Tuhan juga? Mazmur 50:14 katakan: persembahkan syukur sebagai korban! Perhatikan dengan baik, bukan korban sebagai syukur, tetapi syukur sebagai korban. Artinya jelas, sikap hormat, syukur dan takut akan Allah menjadi teramat penting, sebab semua yang kita miliki adalah pemberian dan kepunyaan Tuhan. Bagaimana harus menilai? Tentu terpulang pada setiap pribadi. Namun, tentu menarik untuk membandingkan cara dan sikap kita memberikan sesuatu kepada orang lain, baik sahabat atau keluarga, dengan cara dan sikap kita dalam memberi persembahan kepada Tuhan. Kira-kira mana yang lebih memperlihatkan rasa hormat, syukur dan takut akan Allah?
Jika
mengingat kisah Nadab dan Abihu, dua orang putra Imam Besar Harun yang harus mati
karena hal persembahan, maka sikap dalam memberikan persembahan, tentu menjadi
amat penting. Dalam Imamat 10:1b dikatakan, “Dengan
demikian mereka mempersembahkan ke
hadapan Tuhan api yang asing yang tidak
diperintahkan-Nya kepada mereka”. Jika merujuk pada teks aslinya, maka
sesungguhnya menarik untuk memperhatikan penggunaan dua kata yang kontras,
yakni kata mempersembahkan (Ibrani:
qarab) dalam kaitannya dengan api yang asing.
Dalam memberikan persembahan (qarab),
harusnya terlihat sebuah hubungan yang karib
atau dekat dan mengenal Tuhan baik. Namun pada kenyataannya, persembahan Nadab
dan Abihu justru merupakan hal yang asing
dan tidak memperlihatkan pengenalan dan kedekatan mereka dengan Tuhan.
Memberi persembahan dengan rasa hormat dan syukur!
Itulah yang dialami oleh Abraham! Ia tahu betul, Ishak adalah anugerah Tuhan. Karena itulah, meskipun
tentu penuh dengan pergumulan, ia tetap mengambil keputusan untuk memenuhi
permintaan Tuhan. Dan bagi Tuhan sendiri, sikap Abraham jelas: “Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa
engkau takut akan Allah, dan engkau
tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." Kata tidak segan-segan (Ibrani: chasak berarti tidak menyembunyikan atau
tidak menahan), jelas memperlihatkan sikap Abraham. Sikap Abraham jelas berbeda
dengan sikap Ananias dan Safira, suami istri yang kompak untuk menahan sebagian
hasil penjualan tanah mereka (Kisah 5:2). Sikap Abraham juga berbeda dengan
sikap orang muda yang kaya, yang karena mengingat hartanya yang banyak,
kemudian batal untuk mengikut Yesus (Matius 19:22). Sebaliknya, Abraham mampu
melihat dan kemudian menempatkan sepenuhnya, beragam bentuk pemberian Tuhan,
pada tempat yang semestinya. Jabatan, kekayaan, kepintaran, atau apa pun,
hendaknya tidak merintangi kesetiaan Abraham pada Tuhan. Apalagi jika hal
tersebut sampai menggantikan posisi Tuhan dalam kehidupannya.
Sehubungan
dengan itu pula, pertanyaan lebih jauh tentunya ialah, seberapa jauh setiap
orang menyadari dengan sungguh, bahwa Tuhanlah
yang menyediakan? Abraham sendiri, ketika Ishak bertanya padanya: "Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah
anak domba untuk korban bakaran itu?", Abraham pun menjawab: "Allah yang
akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku."
Tuhan yang menyediakan! Kita tentu ingat kisah Elia dan Janda di Sarfat (1 Raja 17).
Ketika musim kering dan kelaparan tiba, Elia disuruh Tuhan untuk pergi mencari makanan ke seorang janda di Sarfat. Elia tidak diminta untuk pergi ke seorang pejabat kaya raya, tetapi kepada seorang janda yang tak punya apa-apa sama sekali. Namun demikian, Elia tetap saja pergi. Mengapa? Karena ia yakin, yang menyediakan bukanlah sang janda tersebut, tapi Tuhan yg menyediakan! Yang menentukan ketersediaan tepung dan minyak bukanlah jabatan dan bukan pula suami (masih ada atau tidak, hebat atau tidak, sudah pensiun atau belum)! Bukankah berkat yg paling indah bagi Abraham justru diberikan ketika ia berumur 100 Tahun?
Sang
ibu janda pun tak kalah takjub. Ia sendiri sadar, bahwa tempayan dan buli-buli yang ia miliki hanya tinggal menyisakan sedikit tepung dan minyak. Lalu mengapa tepung
dalam tempayan dan minyak dalam buli-bulinya kemudian menjadi tidak pernah
habis selama musim kekeringan melanda? Jawabnya jelas, yakni sebab tepung dan minyak pun bersumber dr Tuhan.
Ketersediaan tepung dan minyak yang terus menerus, ternyata tidak bergantung pada berapa banyak persediaan atau tabungan yang kita simpan, tetapi semata pada kehadiran Tuhan
yang menyediakan.
Kelapa
Gading, Juni 2014
Sebelumnya kami ucakan banyak terima kasih atas kesediaan Bpk Pdt. Alfred Anggui sudah meluangkan waktux membagikan bahan renungan ini untuk kami posting diblog ini.
BalasHapusSemoga ini dapat memberi inspirasi kedepan, baik kami sbagai admin pengelola ataupun para pembaca renungan/artikel ini.
Tuhan memberkati !